Menurut blueprint Perbankan Syariah yang dibuat oleh Bank Indonesia, market share perbankan syariah pada akhir Desember 2008 adalah 5,2 % dari total asset perbankan secara nasional. Meskipun target tersebut sulit dicapai dalam masa setahun ini, namun tak bisa dibantah bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia, akan terus melaju menuju 5 % tersebut, bahkan bisa melebihi angka tersebut beberapa tahun ke depan. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fajriyah, untuk mencapai target market share bank syariah 5 % dibutuhkan setidaknya 40 ribu SDM yang memiliki basis skills ekonomi keuangan syariah yang bermutu dan kompeten.
Selain kebutuhan akan SDM di lembaga perbankan syariah, SDM ekonomi syariah juga sangat dibutuhkan di lembaga-lembaga lainnya seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah. Sejalan dengan kebutuhan di lembaga keuangan syariah, tentu yang paling penting lagi adalah kebutuhan akan lahirnya para entrepreneur syariah, sehingga terjadi keseimbangan antara sector keuangan dan sector riil syariah.
Hal ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan untuk menyiapkan Sumber Daya Insani (SDI) yang berkualitas yang ahli di bidang ekonomi syari’ah, bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini. Tingginya kebutuhan SDI bank syari’ah ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dibutuhkan oleh masyarakat.
Peningkatan kuantitas jumlah bank syari’ah yang cepat tersebut, tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas SDI syari’ah, hanya akan bersifat fatamorgana dan artifisial. Hal ini ini perlu diperhatikan dalam pengembangan bank syariah. Selama ini praktisi perbankan syari’ah didominasi mantan praktisi perbankan konvensional yang hijrah kepada bank syari’ah atau berasal dari alumni perguruan tinggi umum yang berlatar belakang ekonomi konvensional. Umumnya mereka biasanya hanya diberi training singkat (2 minggu) mengenai ekonomi syari’ah atau asuransi syari’ah lalu diterjunkan langsung sebagai praktisi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagian mereka mengikuti training MODP selama satu bulan. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah, bahkan sampai kepada membangun militansi syariah. Selain itu materi ekonomi syari’ah tidak mungkin bisa dipelajari hanya dalam waktu 2 minggu atau 2 bulan.
Sementara itu, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah pada umumnya menghadapi sejumlah kendala dalam upaya mengembangkan kualitas. Kendala itu antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah, yang menguasai secara komprehensif ilmu ekonomi, keuangan sekaligus ilmu syariah, (2) keterbatasan dari segi kurikulum pengajaran, kurikulum belum berbasis kepada kompetensi, (3) belum ada linkage antara lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan syariah, dan (4) keterbatasan dana dan SDM sehingga research dan laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas
Urgensi Perguruan Tinggi Ekonomi Islam
Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. Karena itu perlu adanya redesign tentang institusi kependidikan di Indonesia terutama di fakultas ekonomi dan syariah, agar dapat dihasilkan sarjana yang mempunyai skills tentang ekonomi syari’ah dan memiliki budi pekerti yang sesuai dengan syariah Islam dan applicable di sektor ekonomi.
Lembaga pendidikan adalah institusi yang bertanggung jawab dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang berkualitas. Dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang setidaknya ada dua aspek utama (prioritas) yang perlu mendapat perhatian serius, antara lain masalah kurikulum dan masalah SDM-nya.
Kurikulum sebagai Prioritas
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan suatu lembaga pendidikan, barangkali kurikulumlah yang bisa dianggap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan. Hal ini tidak lain karena kurikulum merupakan rencana pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa. Bahkan dalam pengertian lebih luas, keberadaan kurikulum tidak saja terbatas pada materi yang akan diberikan di dalam ruang kuliah, melainkan juga meliputi apa saja yang sengaja diadakan atau ditiadakan untuk dialami mahasiswa di dalam kampus. Oleh karena itu, posisi kurikulum menjadi mata rantai yang urgen dan tidak dapat begitu saja dinafikan dalam konteks peningkatan kualitas perguruan tinggi.
Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta didik. Definisi lain kurikulum ialah, "suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya."
Ralp Tayler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction, berpendapat ada empat faktor penentu dalam perencanaan kurikulum, yakni faktor filosofis, sosiologis, psikologis dan epistimologis. Faktor-faktor ini, terutama faktor sosiologis, mengalami perkembangan sangat dinamis, sehingga menuntut evaluasi untuk melakukan pengembangan serta perubahan kurikulum secara periodik. Namun, karena aspek sosiologis ini juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, maka di samping penyeragaman kurikulum secara nasional, perlu juga pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi dan potensi lokal masing-masing lembaga pendidikan.
Ibarat orang membangun gedung atau rumah, kurikulum adalah 'blue print' (gambar cetak biru) nya. Blue print ini harus jelas bagi semua fihak yang terkait, meliputi; arsitek yang menggambar, pemilik rumah yang akan membiayai proyek pembangunan rumah tersebut, dan pemborong serta para tukang yang akan membangun rumah. Tidak boleh ada perbedaan persepsi di antara fihak-fihak terkait mengenai bagaimana bentuk akhir rumah tersebut berdasarkan blue print itu. Apabila terjadi perbedaan persepsi di antara fihak fihak tersebut, pastilah akan terjadi kesalahfahaman dan kekecewaan, terutama di fihak pemilik rumah yang telah mengeluarkan uang untuk proyek tersebut.
Mengingat kurikulum adalah program layanan pendidikan yang ditawarkan atau 'dijual' kepada masyarakat, maka seharusnya kurikulum dipandang sebagai jati diri program studi ekonomi Islam. Kurikulum program studi ekonomi Islam harus mencerminkan identitas lembaga tersebut sebagai perguruan tinggi yang bermutu (melakukan pendidikan, pengembangan ilmu/penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ekonomi Islam). Di samping itu ia harus mencerminkan misi dan visi perguruan tinggi, fakultas atau program studi ekonomi Islam tersebut. Kurikulum juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin dihasilkan dan bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan lulusan yang profesional dan berkualitas. Lembaga pendidikan ekonomi syariah juga harus menunjukkan keistimewaannya jika dibandingkan dengan perguruan tinggi sejenis, khususunya dengan fakultas ekonomi konvensional atau Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi yang konvensional. Mengingat kurikulum inilah yang sebenarnya 'dibeli' atau yang menarik minat masyarakat, maka kurikulum harus dikemas sedemikian rupa hingga dapat meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan rugi kalau belajar di lembaga pendidikan yang bersangkutan, tetapi beruntung karena memiliki keunggulan dan added value dari lainnya. Penampilan dan bahasa dalam kurikulum itu harus menarik dan meyakinkan pembaca. Pembaca harus diyakinkan bahwa program pendidikan di lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam tersebut telah dirancang dengan cermat dan rapi sehingga tidak akan membuang waktu, tenaga, dan dana mahasiswa yang belajar di tempat itu.
Kurikulum ini harus jelas arah dan tujuannya, terutama bagi civitas akademika lembaga pendidikan ekonomi Islam itu sendiri (pimpinan, dosen, karyawan, dan mahasiswa). Hal ini diperlukan agar terjadi persamaan persepsi mengenai arah yang harus dituju oleh proses pendidikan di lembaga itu dan bagaimana cara menuju ke arah tersebut. Kegagalan dalam menyamakan persepsi mengenai kurikulum ini akan mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan kurikulum yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, setelah kurikulum itu disusun dengan baik dan jelas, ia harus disosialisasikan kepada seluruh civitas akademika. Kualitas lulusan yang tak sesuai harapan, merupakan indikator kekurangan yang perlu diperbaiki dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi bersangkutan. Perlu segera dikaji apakah problemnya ada di kurikulum yang kurang jelas dan terarah, pada sosialisainya, pada kemampuan dosen untuk merealisasikan kurikulum tersebut, kurangnya sarana pembantu, ataukah pada evaluasinya.
Dari sudut pandang ekonomi, lembaga pendidikan yang memungut biaya (berupa SPP atau lainnya) dapat dianggap sebagai lembaga penjual jasa, yaitu jasa layanan pendidikan. Dalam hal ini, kurikulum itulah yang ditawarkan untuk 'dijual' kepada masyarakat. Apabila pengelola lembaga pendidikan tersebut menginginkan agar lembaga pendidikannya diminati masyarakat, maka mereka harus membuat kurikulum yang menarik dan dianggap dapat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat. Tentu saja, kurikulum bukanlah satu-satunya daya tarik. Karena apalah artinya kurikulum yang baik, par exellence kalau dosennya (tukangnya) kurang mampu mewujudkan kurikulum tersebut dalam lapangan empiric (kenyataan). Begitu pula kurikulum akan tidak banyak mempunyai arti (meaningless) kalau sarana pendidikannya (alat pertukangannya) juga kurang memadai. Namun, tanpa kurikulum yang baik dan jelas, dosen dan sarana sebaik apapun tidak akan menghasilkan lulusan yang bagus.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa salah satu hambatan dalam pengembangan ekonomi keuangan syariah di Indonesia adalah masalah kurikulum pengajaran ekonomi keuangan syariah yang belum berbasis kompetensi. Dalam hal ini, kurikulum yang ada harus jelas arahannya apakah diperuntukkan bagi calon praktisi maupun calon akademisi. Selain berbasis kompetensi, kurikulum yang ada saat ini harus komperhensif-integratif antara nilai-nilai syariah dengan masalah ekonomi keuangan.jangan sampai terjadi dosen fiqh muamalah tidak mengerti praktik perbakan dan keungan, atau dosen ilmu ekonomi mikro atau makro tidak mengerti ayat ekonomi dan ushul fiqh atau dosen ushul fiqh tidak mengerti praktik keuangan modern.
Di samping itu, perlu diintegrasi antara teori dengan praktik. Bagi lembaga pendidikan yang ingin menvetak para praktisi, kurikulum haruslah dirancang secara seimbang antara teori dan praktik, jangan melulu teori. Penyusunan kurikulum ekonomi Islam yang ideal hendaknya mencakup sejumlah hal-hal berikut:
1. Kurikulum berbasis kompetensi, harus ada pembedaan kurikulum untuk calon praktisi dengan kurikulum untuk calon akademisi.
2. Kurikulum harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai syariah, terutama masalah fikih muamalah dengan materi kuliah ekonomi keuangan secara komprehensif.
3. Kurikulum harus membekali mahasiswa dengan ilmu-ilmu kuantitatif, terkait dengan pengembangan nalar dan logika.
4. Mengintegrasikan antara teori dengan praktik. Program profesi untuk calon praktisi lembaga keuangan syariah harus dilengkapi dengan laboratorium praktik lembaga keuangan dan juga program magang di lembaga perbankan dan keuangan syariah. Tenaga pembimbing untuk magang seharusnya mereka yang memahami praktik perbankan dan keuangan, yakni praktisi perbankan, bukan dosen yang tidak memahami praktik perbankan.
Sumber daya manusia
Selain kurikulum, aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang adalah asset manusia sendiri, khususnya para dosen ekonomi syariah, termasuk fihak pengelola (manajemen) lembaga pendidikan, pimpinan (yayasan) dan karyawan. Manusia menjadi penentu keberhasilan sukses tidaknya suatu program. Untuk pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah dibutuhkan SDM yang berkualitas dan professional pula. SDM yang akan menyiapkan SDM perbankan syariah juga harus bertakwa, berakhlakul karimah (memiliki sifat-sifat jujur, adil, amanah, dan lainnya), rajin dan bekerja keras, bersikap haus akan ilmu dan kreatif dalam mengembangkan keilmuan.
Ketakwaan dan akhlakul karimah sangat penting dalam membentuk individu calon praktisi bank syariah yang tidak hanya berorientasi pada dunia namun juga akhirat, sehingga sikap dan perbuatannya selalu terjaga sesuai dengan nilai-nilai syariah. Selain bertakwa dan berakhlak mulia sikap rajin, bekerja keras dan militan, sangat dibutuhkan oleh seorang pelajar maupun pengajar. Tanpa adanya kerja keras, suatu cita-cita atau tujuan akan sulit untuk dicapai. Selain itu, seorang pelajar/pengajar juga diharapkan memiliki sikap haus akan ilmu (al-hirsh), sehingga akan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu baik ilmu dunia dan akhirat. Seorang pelajar/pengajar juga diharapkan memiliki sikap kreatif dalam mengembangkan keilmuan ekonomi syariah.
Pentingnya Buku Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Ekonomi Islam
Kegiatan pendidikan di perguruan tinggi ekonomi islam adalah suatu usaha bersama, di mana upaya mendidik mahasiswa dilakukan oleh banyak orang (dosen, pimpinan, pegawai, dsb.). Ini berbeda dari kursus kecil yang cukup dilayani oleh seorang guru. Dalam kerja bersama ini, hal yang menentukan adalah persamaan persepsi tentang ke mana pendidikan itu harus diarahkan, bagaimana caranya, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilannya.
Oleh karena itu, setiap perguruan tinggi harus memiliki sebuah buku pedoman pelaksanaan kurikulum yang menjelaskan secara rinci dan jelas hal-hal tersebut di atas. Tanpa adanya buku seperti itu, dikhawatirkan arah pendidikan, cara mendidik, dan cara mengukur keberhasilan upaya pendidikan di perguruan tinggi tersebut akan difahami secara berbeda-beda oleh fihak-fihak yang terlibat di dalamnya. Akibatnya, tidak ada persamaan pandangan di antara para dosen, pimpinan, mahasiswa, dan masyarakat. Masing-masing fihak itu akan memiliki tafsiran sendiri-sendiri tentang ke mana seharusnya pendidikan di perguruan tinggi itu harus diarahkan dan bagaimana cara seharusnya. Keadaan seperti ini tentu saja dapat menyebabkan proses pendidikan di perguruan tinggi tersebut kurang efektif dan efisien.
Buku pedoman ini harus disusun berdasarkan kesepakatan para pendidik yang ada di perguruan tinggi tersebut dengan melibatkan para stakeholders lainnya. Berikut ini penulis sebutkan beberapa pertanyaan yang harus diajukan untuk membuat buku pedoman pelaksanaan kurikulum ekonomi Islam. Tentu saja, setiap perguruan Tinggi atau STEI berhak menentukan sendiri pertanyaan apa yang harus mereka ajukan untuk membuat pedoman tersebut jelas bagi para stakeholdersnya.
Untuk menghasilkan suatu pedoman pelaksanaan kurikulum ekonomi Islam yang jelas bagi setiap fihak yang berkepentingan, maka ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh buku pedoman tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:
1. Apa misi program pendidikan tinggi ekonomi Islam ( PTEI) tersebut?
2. Bagaimana visinya sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam?
3. Berdasarkan misi dan visi itu, apa tujuan yang ingin dicapai oleh kurikulum ekonomi Islam tersebut?
4. Bagaimana tujuan kurikuler tersebut dijabarkan dalam bentuk profil lulusan perguruan Tinggi Ekonomi Islam (PTEI) yang bersifat operasional dan dapat diukur?
5. Pendekatan apa yang akan ditempuh oleh PTEI dalam upaya mewujudkan lulusan seperti itu?
6. Aspek apa sajakah dari pribadi mahasiswa yang ingin dikembangkan oleh PTEI? Bagaimana cara mengembangkan aspek-aspek tersebut?
7. Program Studi, Jurusan atau konsentrasi apa saja yang ditawarkan oleh PTEI tersebut?
8. Apa tujuan kurikuler dari masing-masing prodi atau konsentrasi itu?
9. Mata kuliah apa sajakah yang disediakan untuk menjamin terwujudnya lulusan sesuai dengan tujuan kurikuler institut dan prodi? Apa tujuan dan bagaimana deskripsi masing-masing mata kuliah itu? Bagaimana kaitan mata kuliah itu satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan kurikuler?
10. Bagaimana prestasi mahasiswa akan dievaluasi? Berdasarkan patokan standar apa?
Penutup
Tidak bisa dibantah bahwa lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah merupakan pihak yang bertanggung jawab dan paling menentukan dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang kompeten dan bermutu, Dengan demikan, dapat dikatakan berhasil tidaknya pengembangan lembaga keuangan syariah di masa yang akan datang tergantung kepada lembaga pendidikan ekonomi syariah itu sendiri.
Secara kuantitas, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini dilihat dari jumlah lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan ekonomi syariah saat ini masih sekitar 12.5% dari total pegawai yang bekerja di perbankan syariah saat ini.
Dalam hal pengembangan lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah, ada dua hal yang paling berperan signifikan, yaitu kurikulum dan SDM. Dalam pengembangan kurikulum, setidaknya harus memiliki kurikulum berbasis kompetensi, harus mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan materi kuliah ekonomi keuangan secara komperhensif, kurikulum juga idealnya dibekali dengan ilmu-ilmu kuantitatif, terkait dengan pengembangan nalar dan logika, serta mengintegrasikan antara teori dengan praktik. Selain kurikulum, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang adalah asset manusia sendiri karena manusia menjadi penentu keberhasilan sukses tidaknya suatu program.
Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah PSTTI UI, Pascasarjana IEF Trisakti dan Dosen Magister Manajemen Keuangan Syariah Universitas Paramadina.