Menyiapkan SDM Ekonomi Syariah Profesional Melalui Perguruan Tinggi Ekonomi Islam

Menurut blueprint Perbankan Syariah yang dibuat oleh Bank Indonesia, market share perbankan syariah pada akhir Desember 2008 adalah 5,2 % dari total asset perbankan secara nasional. Meskipun target tersebut sulit dicapai dalam masa setahun ini, namun tak bisa dibantah bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia, akan terus melaju menuju 5 % tersebut, bahkan bisa melebihi angka tersebut beberapa tahun ke depan. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fajriyah, untuk mencapai target market share bank syariah 5 % dibutuhkan setidaknya 40 ribu SDM yang memiliki basis skills ekonomi keuangan syariah yang bermutu dan kompeten.

Selain kebutuhan akan SDM di lembaga perbankan syariah, SDM ekonomi syariah juga sangat dibutuhkan di lembaga-lembaga lainnya seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah. Sejalan dengan kebutuhan di lembaga keuangan syariah, tentu yang paling penting lagi adalah kebutuhan akan lahirnya para entrepreneur syariah, sehingga terjadi keseimbangan antara sector keuangan dan sector riil syariah.

Hal ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan untuk menyiapkan Sumber Daya Insani (SDI) yang berkualitas yang ahli di bidang ekonomi syari’ah, bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini. Tingginya kebutuhan SDI bank syari’ah ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dibutuhkan oleh masyarakat.

Peningkatan kuantitas jumlah bank syari’ah yang cepat tersebut, tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas SDI syari’ah, hanya akan bersifat fatamorgana dan artifisial. Hal ini ini perlu diperhatikan dalam pengembangan bank syariah. Selama ini praktisi perbankan syari’ah didominasi mantan praktisi perbankan konvensional yang hijrah kepada bank syari’ah atau berasal dari alumni perguruan tinggi umum yang berlatar belakang ekonomi konvensional. Umumnya mereka biasanya hanya diberi training singkat (2 minggu) mengenai ekonomi syari’ah atau asuransi syari’ah lalu diterjunkan langsung sebagai praktisi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagian mereka mengikuti training MODP selama satu bulan. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah, bahkan sampai kepada membangun militansi syariah. Selain itu materi ekonomi syari’ah tidak mungkin bisa dipelajari hanya dalam waktu 2 minggu atau 2 bulan.

Sementara itu, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah pada umumnya menghadapi sejumlah kendala dalam upaya mengembangkan kualitas. Kendala itu antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah, yang menguasai secara komprehensif ilmu ekonomi, keuangan sekaligus ilmu syariah, (2) keterbatasan dari segi kurikulum pengajaran, kurikulum belum berbasis kepada kompetensi, (3) belum ada linkage antara lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan syariah, dan (4) keterbatasan dana dan SDM sehingga research dan laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas

Urgensi Perguruan Tinggi Ekonomi Islam
Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. Karena itu perlu adanya redesign tentang institusi kependidikan di Indonesia terutama di fakultas ekonomi dan syariah, agar dapat dihasilkan sarjana yang mempunyai skills tentang ekonomi syari’ah dan memiliki budi pekerti yang sesuai dengan syariah Islam dan applicable di sektor ekonomi.

Lembaga pendidikan adalah institusi yang bertanggung jawab dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang berkualitas. Dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang setidaknya ada dua aspek utama (prioritas) yang perlu mendapat perhatian serius, antara lain masalah kurikulum dan masalah SDM-nya.

Kurikulum sebagai Prioritas
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan suatu lembaga pendidikan, barangkali kurikulumlah yang bisa dianggap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan. Hal ini tidak lain karena kurikulum merupakan rencana pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa. Bahkan dalam pengertian lebih luas, keberadaan kurikulum tidak saja terbatas pada materi yang akan diberikan di dalam ruang kuliah, melainkan juga meliputi apa saja yang sengaja diadakan atau ditiadakan untuk dialami mahasiswa di dalam kampus. Oleh karena itu, posisi kurikulum menjadi mata rantai yang urgen dan tidak dapat begitu saja dinafikan dalam konteks peningkatan kualitas perguruan tinggi.

Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta didik. Definisi lain kurikulum ialah, "suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya."

Ralp Tayler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction, berpendapat ada empat faktor penentu dalam perencanaan kurikulum, yakni faktor filosofis, sosiologis, psikologis dan epistimologis. Faktor-faktor ini, terutama faktor sosiologis, mengalami perkembangan sangat dinamis, sehingga menuntut evaluasi untuk melakukan pengembangan serta perubahan kurikulum secara periodik. Namun, karena aspek sosiologis ini juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, maka di samping penyeragaman kurikulum secara nasional, perlu juga pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi dan potensi lokal masing-masing lembaga pendidikan.

Ibarat orang membangun gedung atau rumah, kurikulum adalah 'blue print' (gambar cetak biru) nya. Blue print ini harus jelas bagi semua fihak yang terkait, meliputi; arsitek yang menggambar, pemilik rumah yang akan membiayai proyek pembangunan rumah tersebut, dan pemborong serta para tukang yang akan membangun rumah. Tidak boleh ada perbedaan persepsi di antara fihak-fihak terkait mengenai bagaimana bentuk akhir rumah tersebut berdasarkan blue print itu. Apabila terjadi perbedaan persepsi di antara fihak fihak tersebut, pastilah akan terjadi kesalahfahaman dan kekecewaan, terutama di fihak pemilik rumah yang telah mengeluarkan uang untuk proyek tersebut.

Mengingat kurikulum adalah program layanan pendidikan yang ditawarkan atau 'dijual' kepada masyarakat, maka seharusnya kurikulum dipandang sebagai jati diri program studi ekonomi Islam. Kurikulum program studi ekonomi Islam harus mencerminkan identitas lembaga tersebut sebagai perguruan tinggi yang bermutu (melakukan pendidikan, pengembangan ilmu/penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ekonomi Islam). Di samping itu ia harus mencerminkan misi dan visi perguruan tinggi, fakultas atau program studi ekonomi Islam tersebut. Kurikulum juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin dihasilkan dan bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan lulusan yang profesional dan berkualitas. Lembaga pendidikan ekonomi syariah juga harus menunjukkan keistimewaannya jika dibandingkan dengan perguruan tinggi sejenis, khususunya dengan fakultas ekonomi konvensional atau Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi yang konvensional. Mengingat kurikulum inilah yang sebenarnya 'dibeli' atau yang menarik minat masyarakat, maka kurikulum harus dikemas sedemikian rupa hingga dapat meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak akan rugi kalau belajar di lembaga pendidikan yang bersangkutan, tetapi beruntung karena memiliki keunggulan dan added value dari lainnya. Penampilan dan bahasa dalam kurikulum itu harus menarik dan meyakinkan pembaca. Pembaca harus diyakinkan bahwa program pendidikan di lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam tersebut telah dirancang dengan cermat dan rapi sehingga tidak akan membuang waktu, tenaga, dan dana mahasiswa yang belajar di tempat itu.

Kurikulum ini harus jelas arah dan tujuannya, terutama bagi civitas akademika lembaga pendidikan ekonomi Islam itu sendiri (pimpinan, dosen, karyawan, dan mahasiswa). Hal ini diperlukan agar terjadi persamaan persepsi mengenai arah yang harus dituju oleh proses pendidikan di lembaga itu dan bagaimana cara menuju ke arah tersebut. Kegagalan dalam menyamakan persepsi mengenai kurikulum ini akan mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan kurikulum yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, setelah kurikulum itu disusun dengan baik dan jelas, ia harus disosialisasikan kepada seluruh civitas akademika. Kualitas lulusan yang tak sesuai harapan, merupakan indikator kekurangan yang perlu diperbaiki dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi bersangkutan. Perlu segera dikaji apakah problemnya ada di kurikulum yang kurang jelas dan terarah, pada sosialisainya, pada kemampuan dosen untuk merealisasikan kurikulum tersebut, kurangnya sarana pembantu, ataukah pada evaluasinya.

Dari sudut pandang ekonomi, lembaga pendidikan yang memungut biaya (berupa SPP atau lainnya) dapat dianggap sebagai lembaga penjual jasa, yaitu jasa layanan pendidikan. Dalam hal ini, kurikulum itulah yang ditawarkan untuk 'dijual' kepada masyarakat. Apabila pengelola lembaga pendidikan tersebut menginginkan agar lembaga pendidikannya diminati masyarakat, maka mereka harus membuat kurikulum yang menarik dan dianggap dapat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat. Tentu saja, kurikulum bukanlah satu-satunya daya tarik. Karena apalah artinya kurikulum yang baik, par exellence kalau dosennya (tukangnya) kurang mampu mewujudkan kurikulum tersebut dalam lapangan empiric (kenyataan). Begitu pula kurikulum akan tidak banyak mempunyai arti (meaningless) kalau sarana pendidikannya (alat pertukangannya) juga kurang memadai. Namun, tanpa kurikulum yang baik dan jelas, dosen dan sarana sebaik apapun tidak akan menghasilkan lulusan yang bagus.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa salah satu hambatan dalam pengembangan ekonomi keuangan syariah di Indonesia adalah masalah kurikulum pengajaran ekonomi keuangan syariah yang belum berbasis kompetensi. Dalam hal ini, kurikulum yang ada harus jelas arahannya apakah diperuntukkan bagi calon praktisi maupun calon akademisi. Selain berbasis kompetensi, kurikulum yang ada saat ini harus komperhensif-integratif antara nilai-nilai syariah dengan masalah ekonomi keuangan.jangan sampai terjadi dosen fiqh muamalah tidak mengerti praktik perbakan dan keungan, atau dosen ilmu ekonomi mikro atau makro tidak mengerti ayat ekonomi dan ushul fiqh atau dosen ushul fiqh tidak mengerti praktik keuangan modern.

Di samping itu, perlu diintegrasi antara teori dengan praktik. Bagi lembaga pendidikan yang ingin menvetak para praktisi, kurikulum haruslah dirancang secara seimbang antara teori dan praktik, jangan melulu teori. Penyusunan kurikulum ekonomi Islam yang ideal hendaknya mencakup sejumlah hal-hal berikut:
1. Kurikulum berbasis kompetensi, harus ada pembedaan kurikulum untuk calon praktisi dengan kurikulum untuk calon akademisi.
2. Kurikulum harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai syariah, terutama masalah fikih muamalah dengan materi kuliah ekonomi keuangan secara komprehensif.
3. Kurikulum harus membekali mahasiswa dengan ilmu-ilmu kuantitatif, terkait dengan pengembangan nalar dan logika.
4. Mengintegrasikan antara teori dengan praktik. Program profesi untuk calon praktisi lembaga keuangan syariah harus dilengkapi dengan laboratorium praktik lembaga keuangan dan juga program magang di lembaga perbankan dan keuangan syariah. Tenaga pembimbing untuk magang seharusnya mereka yang memahami praktik perbankan dan keuangan, yakni praktisi perbankan, bukan dosen yang tidak memahami praktik perbankan.

Sumber daya manusia
Selain kurikulum, aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang adalah asset manusia sendiri, khususnya para dosen ekonomi syariah, termasuk fihak pengelola (manajemen) lembaga pendidikan, pimpinan (yayasan) dan karyawan. Manusia menjadi penentu keberhasilan sukses tidaknya suatu program. Untuk pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah dibutuhkan SDM yang berkualitas dan professional pula. SDM yang akan menyiapkan SDM perbankan syariah juga harus bertakwa, berakhlakul karimah (memiliki sifat-sifat jujur, adil, amanah, dan lainnya), rajin dan bekerja keras, bersikap haus akan ilmu dan kreatif dalam mengembangkan keilmuan.

Ketakwaan dan akhlakul karimah sangat penting dalam membentuk individu calon praktisi bank syariah yang tidak hanya berorientasi pada dunia namun juga akhirat, sehingga sikap dan perbuatannya selalu terjaga sesuai dengan nilai-nilai syariah. Selain bertakwa dan berakhlak mulia sikap rajin, bekerja keras dan militan, sangat dibutuhkan oleh seorang pelajar maupun pengajar. Tanpa adanya kerja keras, suatu cita-cita atau tujuan akan sulit untuk dicapai. Selain itu, seorang pelajar/pengajar juga diharapkan memiliki sikap haus akan ilmu (al-hirsh), sehingga akan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu baik ilmu dunia dan akhirat. Seorang pelajar/pengajar juga diharapkan memiliki sikap kreatif dalam mengembangkan keilmuan ekonomi syariah.

Pentingnya Buku Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Ekonomi Islam
Kegiatan pendidikan di perguruan tinggi ekonomi islam adalah suatu usaha bersama, di mana upaya mendidik mahasiswa dilakukan oleh banyak orang (dosen, pimpinan, pegawai, dsb.). Ini berbeda dari kursus kecil yang cukup dilayani oleh seorang guru. Dalam kerja bersama ini, hal yang menentukan adalah persamaan persepsi tentang ke mana pendidikan itu harus diarahkan, bagaimana caranya, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilannya.

Oleh karena itu, setiap perguruan tinggi harus memiliki sebuah buku pedoman pelaksanaan kurikulum yang menjelaskan secara rinci dan jelas hal-hal tersebut di atas. Tanpa adanya buku seperti itu, dikhawatirkan arah pendidikan, cara mendidik, dan cara mengukur keberhasilan upaya pendidikan di perguruan tinggi tersebut akan difahami secara berbeda-beda oleh fihak-fihak yang terlibat di dalamnya. Akibatnya, tidak ada persamaan pandangan di antara para dosen, pimpinan, mahasiswa, dan masyarakat. Masing-masing fihak itu akan memiliki tafsiran sendiri-sendiri tentang ke mana seharusnya pendidikan di perguruan tinggi itu harus diarahkan dan bagaimana cara seharusnya. Keadaan seperti ini tentu saja dapat menyebabkan proses pendidikan di perguruan tinggi tersebut kurang efektif dan efisien.

Buku pedoman ini harus disusun berdasarkan kesepakatan para pendidik yang ada di perguruan tinggi tersebut dengan melibatkan para stakeholders lainnya. Berikut ini penulis sebutkan beberapa pertanyaan yang harus diajukan untuk membuat buku pedoman pelaksanaan kurikulum ekonomi Islam. Tentu saja, setiap perguruan Tinggi atau STEI berhak menentukan sendiri pertanyaan apa yang harus mereka ajukan untuk membuat pedoman tersebut jelas bagi para stakeholdersnya.

Untuk menghasilkan suatu pedoman pelaksanaan kurikulum ekonomi Islam yang jelas bagi setiap fihak yang berkepentingan, maka ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh buku pedoman tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:
1. Apa misi program pendidikan tinggi ekonomi Islam ( PTEI) tersebut?
2. Bagaimana visinya sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam?
3. Berdasarkan misi dan visi itu, apa tujuan yang ingin dicapai oleh kurikulum ekonomi Islam tersebut?
4. Bagaimana tujuan kurikuler tersebut dijabarkan dalam bentuk profil lulusan perguruan Tinggi Ekonomi Islam (PTEI) yang bersifat operasional dan dapat diukur?
5. Pendekatan apa yang akan ditempuh oleh PTEI dalam upaya mewujudkan lulusan seperti itu?
6. Aspek apa sajakah dari pribadi mahasiswa yang ingin dikembangkan oleh PTEI? Bagaimana cara mengembangkan aspek-aspek tersebut?
7. Program Studi, Jurusan atau konsentrasi apa saja yang ditawarkan oleh PTEI tersebut?
8. Apa tujuan kurikuler dari masing-masing prodi atau konsentrasi itu?
9. Mata kuliah apa sajakah yang disediakan untuk menjamin terwujudnya lulusan sesuai dengan tujuan kurikuler institut dan prodi? Apa tujuan dan bagaimana deskripsi masing-masing mata kuliah itu? Bagaimana kaitan mata kuliah itu satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan kurikuler?
10. Bagaimana prestasi mahasiswa akan dievaluasi? Berdasarkan patokan standar apa?

Penutup
Tidak bisa dibantah bahwa lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah merupakan pihak yang bertanggung jawab dan paling menentukan dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang kompeten dan bermutu, Dengan demikan, dapat dikatakan berhasil tidaknya pengembangan lembaga keuangan syariah di masa yang akan datang tergantung kepada lembaga pendidikan ekonomi syariah itu sendiri.

Secara kuantitas, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini dilihat dari jumlah lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan ekonomi syariah saat ini masih sekitar 12.5% dari total pegawai yang bekerja di perbankan syariah saat ini.

Dalam hal pengembangan lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah, ada dua hal yang paling berperan signifikan, yaitu kurikulum dan SDM. Dalam pengembangan kurikulum, setidaknya harus memiliki kurikulum berbasis kompetensi, harus mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan materi kuliah ekonomi keuangan secara komperhensif, kurikulum juga idealnya dibekali dengan ilmu-ilmu kuantitatif, terkait dengan pengembangan nalar dan logika, serta mengintegrasikan antara teori dengan praktik. Selain kurikulum, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang adalah asset manusia sendiri karena manusia menjadi penentu keberhasilan sukses tidaknya suatu program.

Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah PSTTI UI, Pascasarjana IEF Trisakti dan Dosen Magister Manajemen Keuangan Syariah Universitas Paramadina.

Zakat Sebagai Visi Sosial

Dalam Islam zakat dibagi ke dalam dua macam, yaitu zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang terbanyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana).


Zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada setiap bulan Ramadhan, tepatnya di malam Lebaran hingga imam Shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar. Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya juga berkemampuan.

Menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengategorisasikannya pada dua bagian. Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnya mengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan.

Karena dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.

Visi sosial zakat
Di dalam Alquran ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini dalam banyak ayat Alquran telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan keislaman itu sendiri.

Dalam hadis kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi keesaan Tuhan (syahadat) dan dalam urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal. Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman yang bersifat sosial.

Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan terpinggirkan.

Secara vokal Alquran menyerukan agar kekayaan tidak boleh hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya (QS, [59]:7). Islam melarang orang-orang yang menumpuk-numpuk harta (QS [104]: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.

Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami. Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebagian membubung dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya.

Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas teratas sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang memonopoli dan mengonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam (Kuntowijoyo, 1996:300). Alquran menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS [4]: 75).

Strategi pengelolaan zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara.

Dalam tataran ini, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan zakat bukan suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.

Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Dengan demikian, ada beberapa langkah yang harus dilakukan.

Pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzaki) hingga ke pelosok pedesaan. Lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat.

Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing umumnya sudah memiliki data dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah, dan sebagainya.

Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh panitia zakat sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekadar membagi-bagi tanpa memerhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999).

Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh UU Zakat. Lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal pentasarufan (pendayagunaan) pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya.

Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat tertentu, tidak ada halangan menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk menurunkan tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni 2,5-10 persen.
Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat pernah mengusulkan menaikkan tarif zakat menjadi 20 persen atas berbagai jenis pendapatan yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter dan konsultan.

Kita perlu meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah gerakan sosial yang menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Pada ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Mashudi Umar, Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU

Kembali pada Amil Zakat

Salah satu peristiwa besar yang baru saja terjadi di Tanah Air dan mendapat liputan pemberitaan yang sangat luar biasa karena sejumlah media internasional seperti BBC, CNN, dan Al-Jazeera juga memberitakannya adalah meninggalnya 21 orang rakyat Indonesia akibat memperebutkan jatah pembagian zakat senilai Rp 30 ribu. Peristiwa yang terjadi di Pasuruan tersebut menambah daftar peristiwa sejenis yang pernah terjadi sebelumnya.


Bagaimana pun, tragedi Pasuruan ini telah mengakibatkan tercorengnya citra Indonesia di mata internasional. Dunia mempertanyakan bagaimana mungkin orang mau mengorbankan nyawanya hanya untuk mendapatkan bantuan senilai hampir lima dolar AS? Ini sungguh sangat miris mengingat niat baik untuk membagi zakat ternyata tidak diikuti oleh adanya perencanaan yang matang tentang teknis pembagian zakat tersebut.

Zakat adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu, seperti yang dinyatakan dalam surat At Taubah: 103. Allah SWT berfirman: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kata 'ambillah' dalam ayat tersebut memberikan sinyal bahwa zakat sebaiknya dipungut dan dikelola oleh suatu lembaga amil yang diberikan otoritas dan kewenangan penuh. Secara fikih memang diperbolehkan seorang muzaki menyerahkan langsung zakatnya kepada mustahik. Tetapi, dalam konteks yang lebih makro, tujuan ibadah zakat tidak akan tercapai apabila tidak dikelola oleh lembaga amil. Karena itu, dalam QS 9: 60 Allah telah secara eksplisit menyebutkan bahwa di antara kelompok yang berhak menerima zakat adalah amil zakat.

Manfaat amil
Ada banyak manfaat yang dapat diambil jika pengelolaan zakat tersebut dilakukan oleh institusi amil yang memiliki landasan hukum yang kuat. Pertama, analog dengan konsep sapu lidi. Apabila hanya satu lidi yang dipergunakan, kotoran akan susah atau bahkan tidak dapat dibersihkan.

Oleh karena itu, lidi-lidi yang tercecer itu harus diikat menjadi satu sehingga kotoran akan dengan mudah dihilangkan atau paling tidak dikurangi. Hikmah yang bisa diambil adalah bahwa dengan berzakat melalui amil, amil akan memperoleh dana zakat yang banyak. Dengan begitu, apabila amil ingin membuat program menyejahterakan suatu desa yang mayoritasnya masyarakat miskin, program-program zakat tersebut dengan mudah dilaksanakan.

Nominal bantuan zakat yang dapat diberikan pun akan secara otomatis lebih besar. Menurut berita, awalnya nominal zakat yang akan dibagikan Rp 50 ribu/orang. Tetapi, kemudian dikurangi menjadi Rp 30 ribu dengan melihat fakta jumlah yang datang lebih banyak dari yang direncanakan.

Kondisi tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan, apabila ternyata yang datang jauh lebih besar dari itu, maka akan dikurangi menjadi berapa lagi? Dan apa yang bisa diperbuat oleh penerima zakat dengan uang yang hanya Rp 30 ribu? Apakah mereka semua telah memenuhi syarat delapan ashnaf?

Jika ya, bagaimana dengan nasib kelompok yang disebut dengan al-mahrum, yaitu fakir miskin yang tidak memiliki daya dan upaya untuk mengharapkan bantuan orang lain? Padahal, jika dana tersebut disalurkan kepada lembaga amil, akan ada banyak hal yang dapat dilakukan dengan lebih baik.

Manfaat kedua, karena salah satu pekerjaan utama amil menyalurkan zakat, maka dengan ketersediaan waktu dan dengan dukungan infrastruktur yang memadai, amil akan dapat menyeleksi calon mustahik dengan tepat dan lebih baik. Ini penting karena muzaki yang ingin menyalurkan langsung pada mustahik pada umumnya tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai calon mustahik sehingga sangat mungkin terjadi orang yang akhirnya memperoleh zakat tersebut ternyata tidak termasuk dalam ashnaf zakat seperti yang telah diperintahkan dalam Alquran. Untuk konteks Indonesia ini penting mengingat tidak sedikit orang yang pekerjaannya hanya mengirimkan proposal dana pada calon donator, padahal orang tersebut tidaklah miskin.

Ketiga, dengan adanya amil yang mendapat dana yang cukup dari muzaki, program penyaluran zakat menjadi lebih efektif. Dengan demikian, mustahik tidak harus menerima bantuan dalam bentuk uang kas. Ini telah dijalankan oleh BAZNAS dengan salah satu programnya yang bernama Indonesia Sehat.

Rumah sakit yang dibangun oleh program tersebut semata-mata untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis pada masyarakat miskin. Demikian pula dengan pengalaman Pusat Pungutan Zakat Malaysia, di mana salah satu program penyaluran zakat dalam masalah kesehatan adalah pemberian bantuan pada pasien penderita hemodialisi (cuci darah). Untuk hal ini PPZ pun mengambil dari hak amil untuk membiayai pengobatan yang cukup besar tersebut. Ini tidak mungkin akan dapat dilakukan apabila muzaki ingin membayar langsung pada masyarakat miskin.

Keempat, dengan adanya amil maka amil dituntut mempunyai database yang cukup memadai. Database tersebut meliputi informasi tentang muzaki dan juga mustahik.
Adanya database ini sangat penting mengingat dengan inilah perjalanan mustahik menuju tingkat yang lebih baik yaitu muzaki dapat di telusuri dengan baik. Ini juga dapat menstimulasi amil untuk membuat program ekonomi pemberdayaan mustahik sehingga statusnya diharapkan berubah menjadi muzaki.

Kelima, dengan terbentuknya lembaga amil, kerja sama dengan institusi lain akan dengan mudah dilakukan. Sebagai contoh, Unit Pelayanan Zakat (UPZ) BAZNAS di Malaysia telah melakukan kerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia di Malaysia (PPIM) untuk memberikan bantuan zakat kepada pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan.
UPZ pun secara rutin memberi bantuan kepada TKI/TKW bermasalah yang hidup di sejumlah tempat penampungan, termasuk penampungan KBRI. UPZ juga menyediakan dana yang bersifat insidentil bagi masyarakat Indonesia yang sedang sakit dan membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya.

Pelajaran Pasuruan
Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari kasus Pasuruan. Pertama, momentum zakat Pasuruan harus dijadikan sebagai titik balik untuk kembali menyalurkan zakat melalui amil yang dipercaya. Kedua, sudah saatnya lembaga-lembaga amil zakat yang ada di Indonesia bersatu dan memperkuat kerja sama.

Dengan bersatunya lembaga-lembaga tersebut maka overlap bantuan pada mustahik akan dapat dengan sendirinya terhindarkan. Kemudian, daerah jangkauan kerja amil pun dapat diperluas ke seantero negeri.

Yang juga sangat penting adalah profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas lembaga zakat harus terus-menerus ditingkatkan sehingga kepercayaan masyarakat semakin tumbuh dan berkembang. Kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, melainkan harus melalui sebuah proses pembuktian nyata.

Ketiga, MUI hendaknya mengeluarkan fatwa yang mewajibkan masyarakat yang mampu menyalurkan zakat kepada lembaga amil zakat. Fatwa ini di satu sisi diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui amil. Di sisi lain, mendorong peningkatan kinerja lembaga-lembaga amil zakat yang telah ada.

Keempat, perlunya penguatan aspek regulasi pembangunan zakat. UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat perlu direvisi dan disempurnakan sehingga peran lembaga zakat bisa lebih optimal. Ini kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Sekaranglah momentum yang tepat untuk kembali berzakat melalui amil. Insya Allah cita-cita pengentasan kemiskinan melalui zakat sebagaimana yang terjadi di zaman Khalifah Umar bin Abdul 'Aziz dapat terwujud.

Raditya Sukmana, Dosen FE Unair dan Ketua Unit Pelayanan Zakat BAZNAS Malaysia
Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia

Meninjau Ulang Gerakan Filantropi Islam


Di tengah berita menggembirakan seputar pengurangan pajak untuk organisasi-organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan, riset, dan pembangunan masyarakat, muncul kabar tentang rencana revisi UU Zakat No 38 1999. Yang menarik untuk dikaji, revisi itu akan menyertakan klausul bahwa lembaga amil zakat (LAZ) non-pemerintah akan dihapus.

Hal ini tentu mengagetkan di tengah gencarnya pegiat filantropi menyosialisasikan gerakan sadar zakat kepada masyarakat dan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Mengapa muncul gagasan untuk menghapuskan LAZ swasta melalui revisi UU Zakat? Tulisan ini selain mencoba untuk mengkritisi ide penghapusan lembaga zakat, juga melihat ulang keberadaan gerakan filantropi Islam yang marak pada 1990-an dalam konteks perubahan sosial.

Dana filantropi fantastis
Usai lahirnya UU Zakat No 38 1999, aktivitas LAZ semakin marak dan memperoleh tempat di hati masyarakat karena telah memiliki payung hukum. LAZ berhasil memperoleh kepercayaan masyarakat dan mampu mengorganisasi filantropi Islam dengan profesional dan akuntabel sehingga mampu mengumpulkan sumbangan masyarakat dalam jumlah fantastis.

Dompet Dhuafa (DD), misalnya, pada 2007 berhasil mengumpulkan dana Rp 43 miliar dari ZIS, wakaf, dan dana solidaritas kemanusiaan. Tentu saja ini jumlah yang spektakuler yang belum mampu dicapai organisasi-organisasi nirlaba lain yang bergerak di bidang non-keagamaan.

Sebagai perbandingan, menurut survei the Synergos Institute (2002), pendapatan 25 organisasi sumber daya masyarakat sipil di Indonesia, di antaranya Satunama, LP3ES, YAPPIKA, dan Bina Swadaya dalam satu tahun sekitar Rp 126 miliar. Pendapatan domestik yang mereka terima hanya sepertiga dari jumlah tersebut (Rp 44 miliar), selebihnya diperoleh dari funding internasional.

Fakta ini membuat banyak kalangan tergerak mengembangkan lembaga filantropi Islam. Muhammadiyah, misalnya, pada 2002 membuat LAZ Muhammadiyah.

Selain karena ada UU Zakat yang bisa memfasilitasi berdirinya LAZ nasional, LAZ Muhammadiyah juga dibentuk karena melihat kesuksesan yang didulang DD untuk mengorganisasi zakat secara profesional dan modern. Selain itu, selama ini zakat, infak, dan sedekah di Muhammadiyah rata-rata dikelola secara spontan dan ala kadarnya.

Melihat besarnya dana umat yang terkumpul melalui lembaga zakat, sangat dipahami jika terjadi kekhawatiran (akan dampak politis?) dari beberapa kalangan, termasuk pemerintah, seperti terlihat dari munculnya keinginan menghapuskan lembaga zakat ini. Kekhawatiran itu muncul untuk mempertanyakan apakah LAZ menggunakan dan mendistribusikan zakat dan sedekah kepada masyarakat secara adil lintas ras, golongan, agama, dan kelompok kepentingan tertentu.

Karena ada keterkaitan beberapa pengelola zakat dengan partai tertentu, memunculkan keresahan sebagian kalangan jika dana filantropi umat Islam digunakan untuk tujuan politis, langsung maupun tidak. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), lembaga amil zakat nasional yang lahir dari Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera/PKS), adalah sebuah contoh. Meskipun secara struktur PKPU telah terpisah dari PKS, keterkaitan keduanya tidak bisa dilepaskan begitu saja karena kebanyakan para pengelola lembaga zakat ini juga aktivis partai (Bamualim dan Abubakar, 2005).

LAZ dan perubahan sosial
Mencermati LAZ dalam sepuluh tahun terakhir, sebaiknya perlu menggunakan lensa yang lebih luas dalam konteks perubahan sosial. Keberhasilan LAZ dalam menyediakan fasilitas kesehatan, beasiswa, dan modal serta relief services di area bencana, kita semua sudah sering mendengar dan melihatnya. Namun, peran LAZ dalam memperbaiki nasib kelompok masyarakat yang lemah dan membawa perubahan sosial secara lebih luas, tentu perlu dikaji ulang.

Berkaitan dengan itu, David Lewis (2002) menyebutkan bahwa gerakan untuk memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri. Termasuk dengan memengaruhi kebijakan publik, merupakan upaya perubahan sosial yang mengarah pada terciptanya masyarakat sipil.

Dari fakta historis menunjukkan sejak masa kolonial masyarakat Indonesia telah melakukan gerakan sosial dalam melawan imperialisme dengan mengorganisasi kekuatan dari bawah. Tentu saja gerakan melakukan perubahan sosial menuju masyarakat yang adil dan sejahtera masih relevan pada saat ini, terutama ketika kemiskinan dan ketidakadilan masih membelenggu kehidupan sebagian masyarakat.

LAZ dengan kekuatan dana yang signifikan dari umat tentu relevan untuk memulai gerakan sosial melawan kemiskinan tidak hanya dengan memberi santunan, tapi juga dengan melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat. Dengan begitu mereka bisa mandiri dan mampu menolong diri sendiri.

Advokasi juga bisa mengawal lahirnya kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat lemah. Jangan sampai peran dan fungsi lembaga-lembaga filantropi modern tidak berbeda jauh dengan peran filantropi tradisional yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial maupun individu-individu untuk membantu mereka yang tidak mampu selama ini.

Sebagai refleksi, menggabungkan aktivitas pendampingan sekaligus memberikan pelayanan sosial, sangat mungkin dilakukan oleh organisasi nirlaba. Peoples' Rural Education Movement di Orissa, India, misalnya, dengan dana Rp 2 miliar untuk jangka waktu satu tahun (1993-1994) mampu memberdayakan 600 ribu penerima bantuan di 5.000 desa dengan 42 orang people's organizations (POs).

Selain membawa dampak kuantitatif, gerakan pemberdayaan semacam ini juga lebih bertahan lama dan lebih efektif. Pengaruh penting lainnya adalah lahirnya kebijakan baru yang memihak pada kelompok lemah (Michael Edwards, 1999).

Kembali kepada rencana penghapusan LAZ swasta oleh pemerintah, apakah ide ini lahir karena tidak adanya data kuantitatif maupun kualitatif secara makro untuk mengukur kesuksesan LAZ ataukah lebih karena alasan politis? Tentu masih perlu diteliti lagi.

Kita perlu memberi perhatian serius dan menunjukkan sikap prihatin jika rencana ini dilakukan karena pemerintah mempunyai kekuasaan melahirkan atau meniadakan sebuah aturan. Semoga ini tidak terjadi karena kita hidup di negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi dan memberi ruang besar perdebatan di masyarakat.

Tuti Alawiyah, Mahasiswa S3 pada School of Social Work University of Texas at Austin, Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta

Menata Ulang Sistem Zakat

Senin (15/9) lalu sepatutnya dijadikan tonggak bersejarah perubahan sistem zakat kita. Betapa tidak, puluhan nyawa melayang sia-sia di tengah bulan suci Ramadhan yang memberi berkah kepada setiap umat Muslim.


Puluhan syahid tersebut berjuang menyabung nyawa hanya untuk memperoleh beberapa lembar ribuan dari seorang muzaki. Sayangnya, seperti juga sistem zakat kita, kekisruhan terjadi ketika ribuan orang secara bersamaan antre dan berdesak-desakan.

Kembali pelajaran penting diperoleh. Jika sistem zakat sudah baik, mungkin tidak perlu lagi seorang pengusaha H Syaichon bersusah-payah menyalurkan zakatnya ke fakir miskin tersebut. Perlu ditelaah lebih jernih, mengapa banyak muzaki yang lebih senang menyalurkan zakatnya langsung tanpa melalui Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat? Pertanyaan ini sungguh mudah dijawab jika kita melihat fenomena maraknya bermunculan BAZ/LAZ, tetapi tidak disertai dengan sistem yang akuntabel dan responsibel.

Momentum amendemen UU zakat
Pemerintah telah mengajukan amendemen UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Republika, 12/9). Alasan yang diajukan adalah agar pengelolaan zakat dapat lebih profesional dan transparan. Saat ini ada 18 lembaga amil zakat yang resmi diakui pemerintah. Sementara itu, jumlah yang tidak resmi jumlahnya mencapai ratusan.
Alasan lain pemerintah mengamendemen UU tersebut karena selama ini tidak ada satu pun LAZ yang dikelola masyarakat melaporkan penyaluran dananya ke Departemen Agama. Menurut pemerintah, revisi UU Zakat tidak bermaksud menghapus lembaga zakat yang dikelola masyarakat atau swasta, tapi lebih dimaksudkan agar zakat harus dikelola oleh pemerintah, seperti halnya pajak.

Menurut LAZ, pemerintah justru mencantumkan rencana penghapusan lembaga zakat masyarakat atau swasta. Hal ini dapat dilihat dari alasan yang dikemukakan pemerintah.
Alasan pertama, menurut versi LAZ, adalah organisasi pengelolaan zakat sebagaimana diatur di UU itu tidak sesuai ketentuan agama. Kedua, pengelolaan zakat hanya boleh dilakukan oleh BAZ yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan, dari pusat sampai kelurahan/desa. Ketiga, LAZ bentukan masyarakat atau swasta diubah menjadi unit pengumpul zakat (UPZ). UPZ tak berhak mendistribusikan zakat.

Keempat, lembaga pengelola zakat yang tidak berhak akan diancam hukuman penjara tiga tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta. Kelima, paling lambat dua bulan setelah diundangkan, setiap LAZ harus mengubah status menjadi UPZ atau unsur BAZ.

Dari polemik yang mulai muncul ini, perlu solusi untuk mencari jalan tengah antara keinginan pemerintah di satu pihak dan LAZ di lain pihak untuk mengelola zakat nasional. Solusi yang bisa dilakukan adalah penguatan stakeholders, dewan pengawas BAZ/LAZ, dan manajemen BAZ/LAZ sebagai satu sistem tata kelola zakat nasional.

Good zakat governance
Prinsip good governance juga dapat diterapkan dalam pengelolaan organisasi zakat. BAZ/LAZ sebagai organisasi nirlaba juga dapat mengadopsi konsep GCG. Adalah suatu hal penting bagi pembayar zakat (yang sesungguhnya pemilik dari BAZ/LAZ meyakini bahwa zakat mereka yang dibayarkan digunakan secara efisien untuk kepentingan terbaik mereka.

Cara pemilik dapat mengeksekusi hak-hak dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan dasar tersebut, dalam kata lain bagaimana mereka meng-govern operasi dari BAZ/LAZ, disebut corporate governance. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, singgungan sektor BAZ/LAZ dan korporasi suatu negara semakin luas.

BAZ/LAZ berhadapan tidak hanya dengan para muzaki, tetapi juga berinteraksi dan bahkan bergantung pada korporasi yang semakin lama semakin ketat menjadikan GCG sebagai faktor menentukan mereka akan menyalurkan dananya ke BAZ/LAZ di suatu negara tertentu atau tidak. Pada tataran yang paling dasar, good governance dalam konteks zakat berkaitan dengan cara dana dikumpulkan, dikelola untuk kepentingan terbaik pembayar zakat tersebut.

Kepentingan terbaik pembayar zakat adalah tersalurnya ke delapan pihak yang berhak atas zakat tersebut. Oleh karena itu, suatu sistem good governance dikatakan efisien bila mampu memberikan ruang bagi pembayar zakat untuk melakukan pengawasan BAZ/LAZ secara menyeluruh sehingga semua elemen yang berisiko dapat ditangani dengan baik (Finger dkk, 2001). Dalam hal ini, pengertian pengendalian oleh pembayar zakat bukan berarti pengendalian yang benar-benar sangat mendetail dan benar-benar secara fisik dilakukan.

Juga bukan berarti manajemen harus dilakukan sendiri oleh pembayar zakat tersebut. Arti dari pengawasan oleh pembayar zakat adalah kondisi di mana pembayar zakat berada dalam suatu posisi yang menentukan efektivitas pemberian insentif kepada manajemen serta dapat melaksanakan pengawasan yang efektif terhadap manajemen sehingga mereka dapat yakin bahwa pihak manajemen telah menjalankan baik strategi maupun pengelolaan harian BAZ/LAZ untuk kepentingan terbaik umat.

Sejalan dengan tujuan akhir di atas, OECD (1999, 2004) memberikan panduan prinsip-prinsip good corporate governance yang juga dapat diadopsi oleh sistem zakat nasional, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Siapa sajakah yang seharusnya terlibat dalam sistem tata kelola zakat nasional?
Ada beberapa pihak yang berperan dalam sistem zakat. Pertama, pembayar zakat. Pembayar zakat adalah pihak yang berperan penting dalam sistem perzakatan. Mereka yang menggerakkan roda sistem zakat.

Apa yang dibutuhkan oleh pembayar zakat dalam sistem tata kelola zakat? Ada beberapa hal yang dibutuhkan, di antaranya sistem perencanaan zakat, sistem pembayaran zakat yang sederhana, sistem pemantauan penyaluran zakat, dan sistem pelaporan penyaluran zakat.

Kedua, Departemen Agama. Berbagai suara yang muncul di masyarakat lebih menginginkan pemerintah sebagai regulator zakat. Peran Depag sebagai regulator zakat memungkinkan zakat diawasi secara sungguh-sungguh dan menjadi wasit yang adil ketika ada penyimpangan pengelolaan zakat. Salah satu alasan logis mengapa pengumpulan zakat lebih didorong melalui lembaga amil zakat karena pemerintah telah mengelola pajak.

Ketiga, BAZNAS. Perlu redefinisi ulang fungsi dari BAZNAS. Jika UU Zakat jadi diamendemen, fungsi BAZNAS sebagai pengumpul langsung zakat perlu dialihfungsikan sebagai koordinator pengumpulan zakat. Ujung tombak pengumpulan zakat berada pada LAZ yang telah tumbuh dan berkembang secara mandiri.

Selama ini masyarakat tidak pernah diinformasikan secara transparan jumlah dana zakat yang dikumpulkan oleh LAZ. Fungsi BAZNAS ke depan sebagai penghubung dari simpul-simpul pemungut zakat yang ada di masyarakat. Siapa yang bertugas menyalurkan? Yang menyalurkan zakat tetap pada LAZ yang dikoordinasi oleh BAZ.

Keempat, perguruan tinggi agama Islam. Selama ini peran mereka dalam pengelolaan zakat nasional belum tampak. Titik singgung yang sering dilaksanakan oleh mereka adalah menyediakan lulusan yang paham fikih zakat tapi masih miskin inovasi. Inovasi pengumpulan zakat sangat diperlukan mengingat karakteristik masyarakat Indonesia dan zakat itu sendiri.

Perguruan tinggi agama Islam juga belum banyak membuka diskursus yang memberikan pemikiran baru tentang pengelolaan zakat. Miskinnya diskursus ini mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat membayar zakat.

Kelima, masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan sebagai pihak yang mengawasi kerja dan kinerja BAZ/LAZ. Pengawasan ini bisa berjalan jika masyarakat sadar akan pentingnya zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Wujud partisipasi masyarakat bisa dalam bentuk aktif pada LAZ atau juga partisipasi yang pasif.

Keenam adalah BAZ/LAZ yang harus mulai membiasakan diri mengelola dana zakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Perbaikan SDM, sistem informasi, sistem akuntansi, dan struktur organisasi merupakan agenda mendesak yang perlu dilakukan seiring amendemen UU Zakat.

Terakhir, dewan pengawas. Struktur LAZ harus berisikan orang-orang yang tidak hanya paham fikih zakat, tetapi juga paham manajemen pengawasan zakat. Selama ini masih sedikit LAZ yang memfungsikan dewan pengawas sebagai pengawas independen pengumpulan dan penyaluran zakat. Akibatnya, akuntabilitas LAZ tetap dipertanyakan.
Tragedi pilu Pasuruan telah terjadi dan mungkin akan terus terjadi jika kita tidak segera membenahi sistem zakat nasional. Semoga pula kejadian Pasuruan makin meningkatkan ketakwaan kita dengan mengambil hikmah sebagai modal perbaikan sistem zakat.

Dr. M. Fakhri Husein, Pengajar di Jurusan Keuangan Islam Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Urgensi SDM Ekonomi Syariah

Sudah terlalu lama Islam ditinggalkan pemeluknya dalam percaturan ekonomi dan bisnis kecuali dalam porsi yang sangat kecil atau pemain pinggiran. Mind set umat seolah sudah terbelah antara dunia bisnis dan ekonomi yang ''kotor dan berliku'' dengan syariah yang ''bersih dan suci''. Islam harus ''dipisahkan'' dari bisnis dan ekonomi agar tetap ''mulia dan bersih''.


Dampak dari dualisme ini kita telah menyaksikan kegersangan yang cukup panjang di sentra-sentra ekonomi kita dari nilai-nilai luhur religi. Kita hampir tidak pernah menyaksikan Islam ''hadir'' di transaksi pasar modal kita. Kita Jarang mendengar firman Allah menjadi dasar akad kredit perbankan atau sabda rasulullah dalam penerbitan polis dan perhitungan aktuaria asuransi. Fatwa ulama pun seolah tidak ada hubungannya dengan pengelolaan dana pensiun, investasi reksadana atau kegiatan pegadaian.

Memang setiap Jumat, kita mendengarkan khatib ceramah di kantor-kantor dan sentra-sentra ekonomi, tetapi apa yang disampaikan khatib di mimbar sama sekali tidak bersentuhan dengan segenap transaksi komersial yang terjadi di gedung gedung itu. Akibatnya ketika Islam dipinggirkan, maka otomatis nilai-nilai dan pranata asinglah yang masuk dan berperan dihampir semua sektor ekonomi. Islam harus puas dijadikan pemeluknya hanya sebagai agama masjid dan mushalla, sebagai system of worship 'pengatur ibadah ritual', bukan sebagai way of life 'sitem hidup yang paripurna'.

Satu dari sekian faktor yang bertangung jawab dari keterasingan Islam dari dunia ekonomi adalah pola pendidikan kita yang menceraikan ekonomi dari syariah atau muamalah dari bisnis. Di hampir semua fakultas ekonomi dunia, demikian juga Indonesia, kita hanya diajarkan ekonomi makro, ekonomi mikro, akuntansi biaya, ekonomi pembangunan, pasar modal, dan pasar uang dengan seluruh asumsi dan filosofi ekonomi kapitalis. Hampir tidak pernah mahasiswa ekonomi mengenal apa yang disebut dengan nadzariyatu aqd, siyasah al maliyah fi ashr al khilafah, hadist al ahkam atau fiqih muamalah.

Pada waktu yang sama dunia pesantren asyik bergulat dengan kitab-kitab klasik standar seperti Al Baijuri, I'anatu ath thalibin, Bugiyatu Mustarshidin, al Iqna, Raudhatu ath thalibin, Majmu li an nawawi atau al Umm li Asy Syafii. Para santri asyik ''melewati'' bab-bab komersial seperti bab al buyu, bab asy syirkah, bab ar rahn, bab al ijarah, dan ash sharf tanpa pernah bertanya bagaimana menerapkannya dalam bangun-bangun institusi keuangan dan ekonomi modern. Beratus ratus tahun kita mempelajari kitab kuning di pondok pesantren dengan tetap menjadikan khazanah fiqih muamalah peninggalan ulama terdahulu sebagai penghias rak-rak pondok pesantren tanpa pernah terpikir bagaimana membawanya ke jalan Thamrin, Sudirman, Rasuna Said, Jakarta dan sentra-sentra bisnis lainnya.

Dampak langsung dari dualisme pendidikan ini sangat banyak. Di antaranya adalah: (1) keterasingan Islam dari kebijakan kebijakan makro ekonomi, (2) kegersangan kurikulum ekonomi nasional dari prinsip-prinsip syariah muamalah, (3) para praktisi bisnis jauh dari nilai-nilai Islam, (4) keterpisahan khazanah keilmuan muamalah Islam dari aplikasi lapangan, (5)kegamangan umat dalam memberikan solusi Islam untuk masalah masalah ekonomi modern seperti pengangguran, double digit inflation, disparitas pusat dan daerah, dan tingginya angka kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara.

Krisis moneter pada pertengahan 1997 dengan segala hiruk pikuk dampaknya seperti likuidasi atas 69 bank swasta nasional, dan menggunungnya biaya rekapitalisasi perbankan yang mencapai Rp 635 triliun tampaknya telah memberikan kesadaran baru bahwa ''there is something wrong with our banking and financial system''. Salah satu bentuk kesadaran ini (semoga) adalah adanya upaya untuk memberikan perhatian pada perbankan dan lembaga keuangan syariah sebagai salah satu varian jasa keuangan.

Tepat dua tahun setelah kemunculan krisis keuangan Asia, kita menyaksikan berdirinya Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai bank syariah milik pemerintah pertama di tanah air. Langkah BSM ini disusul oleh Bank IFI yang membuka cabang syariah, demikian juga cabang syariah Bank Bukopin di Aceh (yang kemudian karena alasana keamanan direlokasi ke Melawai Jakarta). Di antara bank milik pemerintah daerah, Bank Jabar adalah bank pemda yang pertama memiliki cabang syariah. Setelah melihat respons yang cukup positif, dua bank pemerintah lainnya, BNI-46 dan BRI, serta satu bank papan atas swasta, Bank Danamon, juga tampaknya tidak ingin ketinggalan untuk masuk ke industri perbankan yang baru ini.

Industri asuransi, pada masa pasca krisis, kita juga menyaksikan kehadiran tiga lembaga asuransi yang menyusul PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai asuransi syariah pertama. Ketiga lembaga itu adalah asuransi Syariah Mubarakah, divisi Syariah Great Eastern life insurance dan divisi Syariah MAA Insurance. Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di pasar modal yaitu dengan hadirnya reksa dana syariah PT Danareksa dan Investment management syariah PT PNM (persero). Hanya saja perkembangan yang sangat menggembirakan ini sangat disayangkan belum didukung oleh SDM ekonomi syariah yang mumpuni. Kita merasakan betapa langkanya akuntan yang menguasai fiqih muamalah, atau seorang ustadz yang terbiasa melaksanakan transaksi letter of credit L/C secara syariah.

Mencermati tantangan kelangkaan ini, alhamdulillah beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan sudah mulai terpanggil. Diantara lembaga pelatihan itu, kita mencatat Tazkia Institute, Shariah Economic and Banking Institute (SEBI), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Mandiri (PPSDM), Muamalat Institute, Karim Consulting, dan Divisi Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia (IBI). Sudah cukup banyak kiprah yang dilakukan oleh lembaga lembaga pelatihan tersebut.

Pada tataran akademisi kita mencatat kepeloporan fakultas ekonomi UII Yogya, SBI institute, SEBI, STIS Yogya, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta, Universitas Djuanda Bogor, IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, IAIN Medan, AKP Padang, dan Fakultas Ekonomi UNAIR, STEI Tazkia, dan Jurusan Timur Tengah dan Islam UI serta upaya lain dari beberapa universitas Islam yang cukup banyak.

Di antara lembaga-lembaga tersebut ada tiga lembaga yang melakukan terobosan cukup unik. Pertama, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta. Kedua, Jurusan Timur Tengah dan Islam UI telah mendobrak salah satu institusi pendidikan tertua nasional dengan membuka program pasca sarjana dengan salah satu pilihan konsentrasi tentang ekonomi Islam. Ketiga, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia.

Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri untuk pengembangan ekonomi Islam, Tazkia belajar dari keterbatasan-keterbatasan pendahulunya. Tazkia mengambil 120 persen kurikulum ekonomi dan muamalah, mewajibkan program matrikulasi, dan mengajarkan beberapa mata kuliah dalam bahasa Arab dan Inggris, serta menjalin kerjasama pengembangan kurikulum dengan Universitas Al-Azhar, Mesir dan International Islamic University, Malaysia.

Adalah kesulitan yang luar biasa besarnya bila memaksakan beberapa mata kuliah muamalah di fakultas ekonomi atau menginsersi beberapa mata kuliah bisnis di fakultas syariah. Yang paling ideal memang mengambil seluruh mata kuliah wajib kurikulum nasional ekonomi (60 persen) dan mengambil seluruh kewajiban kurikulum nasional Muamalah (60 persen).

Kesulitan 120 persen dapat diatasi dengan adanya matrikulasi dimana semua mahasiswa di asramakan selama 2 semester. Selama masa boarding, siswa difokuskan untuk mendalami Arabic for economist, English for academic purpose, quantum learning, tahfidz al-qur'an (ayat ayat ekonomi), applied mathematics & statistic for economics dan dirasah Islamiyah.

Kita berharap upaya-upaya lembaga pendidikan dan training tersebut di atas dapat berjalan dengan lancar karena memang SDM ekonomi syariah sudah sangat mendesak dan kita juga sudah sangat banyak ketinggalan dari peneliti asing yang melihat ekonomi dan keuangan Islam sebagai suatu kajian yang menantang. Di sisi lain beberapa IAIN dan universitas Islam kita masih bergelut mencari calon dosen dan rujukan yang pas untuk mahasiswa yang berminat tentang ekonomi syariah.

Oleh: Muhammad Syafii Antonio

Pengelolaan Zakat, Infak, dan Sedekah

Masyarakat yang akan menunaikan zakat tentu berkeinginan dapat melaksanakan ibadah, yang merupakan Rukun Islam keempat, tersebut dengan sebaik-baiknya. Dalam arti, sah menurut agama, memenuhi syarat dan rukun syar'i, termasuk memenuhi sasaran dari kewajiban zakat dimaksud. Sasaran itu antara lain untuk mengentaskan kemiskinan di masyarakat dan membantu mereka yang membutuhkan sesuai petunjuk Alquran, ada delapan kelompok ( ashnaf) yang berhak menerima zakat.


Karena itu, banyak dari para orang tua kita di desa dulu yang membayarkan zakatnya langsung kepada orang-orang miskin di kampung dan tidak melalui lembaga atau amil zakat. Bahkan, mereka mempunyai catatan yang detail mengenai orang-orang dhuafa yang berhak menerima zakat tersebut, lebih perinci dari data orang miskin yang dimiliki pemerintah/kelurahan.

Apa yang mereka lakukan dimaksudkan agar zakat betul-betul memenuhi sasaran dan sah/benar menurut agama. Mereka tidak membayarkan zakatnya melalui lembaga atau amil zakat, apalagi yang dikelola oleh pemerintah, khawatir tidak memenuhi sasaran (baca: dikorup oleh oknum-oknum pengelolanya). Hal yang sama juga terjadi ketika mereka berinfak dan sedekah. Apalagi, dua yang terakhir itu merupakan ibadah sunah dan bukan wajib sebagaimana zakat. Sasaran/objek dari infak dan sedekah pun lebih cair dan tidak seketat zakat (delapan ashnaf).

Dengan perkembangan waktu, terutama di kota-kota besar, masyarakat kini tidak ada waktu lagi untuk melakukan sendiri pendistribusian zakat, infak, dan sedekahnya (ZIS) secara langsung ke para sasaran, para fakir miskin. Apalagi, jenis pekerjaan dan profesi sekarang ini lebih berkembang dibandingkan dulu sehingga penghitungan zakat pun bisa lebih rumit. Dari sinilah kemudian muncul lembaga-lembaga profesional pengelola zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Lembaga-lembaga swasta ini bukan pasif, menunggu seperti sebelumnya.

Mereka sangat aktif jemput bola. Mereka sangat aktif mensosialisasikan ZIS, baik kepada perseorangan maupun kepada perusahaan-perusahaan besar. Konsultasi ZIS pun mereka buka, termasuk penghitungan zakat, untuk umum. Bukan hanya itu, semua pengelolaan zakat, termasuk untuk operasional, juga mereka pertanggungjawabkan kepada masyarakat secara terbuka setelah diaudit oleh auditor profesional.

Hasilnya, tak sedikit lembaga ZIS yang bisa mengoleksi puluhan miliar setiap bulannya, terutama di bulan Ramadhan. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran umat Islam sebenarnya sangat tinggi untuk mengeluarkan zakatnya selama ada lembaga yang bisa dipercaya. Kondisi ini tentu menggembirakan. Di tengah keterbatasan pemerintah mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, muncul lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membantu pemerintah melayani rakyat miskin.

Apabila ada yang perlu kita waspadai mengenai pengumpulan ZIS ini adalah munculnya lembaga-lembaga ZIS yang kurang profesional, tidak transparan, dan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pendirian lembaga ZIS bisa saja hanya sebagai kedok untuk maksud penipuan. Menurut sumber di Depag, kini terdapat 18 lembaga amil zakat (LAZ) yang resmi diakui pemerintah. Sedangkan sisanya, jumlahnya ratusan, belum resmi.

Karena itu, terkait dengan rencana pemerintah mengajukan amandemen UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, kita sepakat bahwa zakat harus dikelola lebih baik. Caranya, pemerintah harus lebih ketat mengatur dan mengawasi lembaga-lembaga ZIS. Namun, kita menolak bila semua lembaga ZIS dibubarkan atau dilebur dalam lembaga zakat pemerintah.

Kita khawatir bila ZIS hanya dikelola pemerintah, tingkat kepercayaan masyarakat akan menurun sebagaimana di masa lalu. Menurut kita, biarkan lembaga-lembaga ZIS saling berlomba dalam kebaikan, termasuk dengan lembaga zakat pemerintah. Apalagi, ZIS hingga kini baru sebatas kesadaran masyarakat.