Urgensi SDM Ekonomi Syariah

Sudah terlalu lama Islam ditinggalkan pemeluknya dalam percaturan ekonomi dan bisnis kecuali dalam porsi yang sangat kecil atau pemain pinggiran. Mind set umat seolah sudah terbelah antara dunia bisnis dan ekonomi yang ''kotor dan berliku'' dengan syariah yang ''bersih dan suci''. Islam harus ''dipisahkan'' dari bisnis dan ekonomi agar tetap ''mulia dan bersih''.


Dampak dari dualisme ini kita telah menyaksikan kegersangan yang cukup panjang di sentra-sentra ekonomi kita dari nilai-nilai luhur religi. Kita hampir tidak pernah menyaksikan Islam ''hadir'' di transaksi pasar modal kita. Kita Jarang mendengar firman Allah menjadi dasar akad kredit perbankan atau sabda rasulullah dalam penerbitan polis dan perhitungan aktuaria asuransi. Fatwa ulama pun seolah tidak ada hubungannya dengan pengelolaan dana pensiun, investasi reksadana atau kegiatan pegadaian.

Memang setiap Jumat, kita mendengarkan khatib ceramah di kantor-kantor dan sentra-sentra ekonomi, tetapi apa yang disampaikan khatib di mimbar sama sekali tidak bersentuhan dengan segenap transaksi komersial yang terjadi di gedung gedung itu. Akibatnya ketika Islam dipinggirkan, maka otomatis nilai-nilai dan pranata asinglah yang masuk dan berperan dihampir semua sektor ekonomi. Islam harus puas dijadikan pemeluknya hanya sebagai agama masjid dan mushalla, sebagai system of worship 'pengatur ibadah ritual', bukan sebagai way of life 'sitem hidup yang paripurna'.

Satu dari sekian faktor yang bertangung jawab dari keterasingan Islam dari dunia ekonomi adalah pola pendidikan kita yang menceraikan ekonomi dari syariah atau muamalah dari bisnis. Di hampir semua fakultas ekonomi dunia, demikian juga Indonesia, kita hanya diajarkan ekonomi makro, ekonomi mikro, akuntansi biaya, ekonomi pembangunan, pasar modal, dan pasar uang dengan seluruh asumsi dan filosofi ekonomi kapitalis. Hampir tidak pernah mahasiswa ekonomi mengenal apa yang disebut dengan nadzariyatu aqd, siyasah al maliyah fi ashr al khilafah, hadist al ahkam atau fiqih muamalah.

Pada waktu yang sama dunia pesantren asyik bergulat dengan kitab-kitab klasik standar seperti Al Baijuri, I'anatu ath thalibin, Bugiyatu Mustarshidin, al Iqna, Raudhatu ath thalibin, Majmu li an nawawi atau al Umm li Asy Syafii. Para santri asyik ''melewati'' bab-bab komersial seperti bab al buyu, bab asy syirkah, bab ar rahn, bab al ijarah, dan ash sharf tanpa pernah bertanya bagaimana menerapkannya dalam bangun-bangun institusi keuangan dan ekonomi modern. Beratus ratus tahun kita mempelajari kitab kuning di pondok pesantren dengan tetap menjadikan khazanah fiqih muamalah peninggalan ulama terdahulu sebagai penghias rak-rak pondok pesantren tanpa pernah terpikir bagaimana membawanya ke jalan Thamrin, Sudirman, Rasuna Said, Jakarta dan sentra-sentra bisnis lainnya.

Dampak langsung dari dualisme pendidikan ini sangat banyak. Di antaranya adalah: (1) keterasingan Islam dari kebijakan kebijakan makro ekonomi, (2) kegersangan kurikulum ekonomi nasional dari prinsip-prinsip syariah muamalah, (3) para praktisi bisnis jauh dari nilai-nilai Islam, (4) keterpisahan khazanah keilmuan muamalah Islam dari aplikasi lapangan, (5)kegamangan umat dalam memberikan solusi Islam untuk masalah masalah ekonomi modern seperti pengangguran, double digit inflation, disparitas pusat dan daerah, dan tingginya angka kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara.

Krisis moneter pada pertengahan 1997 dengan segala hiruk pikuk dampaknya seperti likuidasi atas 69 bank swasta nasional, dan menggunungnya biaya rekapitalisasi perbankan yang mencapai Rp 635 triliun tampaknya telah memberikan kesadaran baru bahwa ''there is something wrong with our banking and financial system''. Salah satu bentuk kesadaran ini (semoga) adalah adanya upaya untuk memberikan perhatian pada perbankan dan lembaga keuangan syariah sebagai salah satu varian jasa keuangan.

Tepat dua tahun setelah kemunculan krisis keuangan Asia, kita menyaksikan berdirinya Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai bank syariah milik pemerintah pertama di tanah air. Langkah BSM ini disusul oleh Bank IFI yang membuka cabang syariah, demikian juga cabang syariah Bank Bukopin di Aceh (yang kemudian karena alasana keamanan direlokasi ke Melawai Jakarta). Di antara bank milik pemerintah daerah, Bank Jabar adalah bank pemda yang pertama memiliki cabang syariah. Setelah melihat respons yang cukup positif, dua bank pemerintah lainnya, BNI-46 dan BRI, serta satu bank papan atas swasta, Bank Danamon, juga tampaknya tidak ingin ketinggalan untuk masuk ke industri perbankan yang baru ini.

Industri asuransi, pada masa pasca krisis, kita juga menyaksikan kehadiran tiga lembaga asuransi yang menyusul PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai asuransi syariah pertama. Ketiga lembaga itu adalah asuransi Syariah Mubarakah, divisi Syariah Great Eastern life insurance dan divisi Syariah MAA Insurance. Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di pasar modal yaitu dengan hadirnya reksa dana syariah PT Danareksa dan Investment management syariah PT PNM (persero). Hanya saja perkembangan yang sangat menggembirakan ini sangat disayangkan belum didukung oleh SDM ekonomi syariah yang mumpuni. Kita merasakan betapa langkanya akuntan yang menguasai fiqih muamalah, atau seorang ustadz yang terbiasa melaksanakan transaksi letter of credit L/C secara syariah.

Mencermati tantangan kelangkaan ini, alhamdulillah beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan sudah mulai terpanggil. Diantara lembaga pelatihan itu, kita mencatat Tazkia Institute, Shariah Economic and Banking Institute (SEBI), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Mandiri (PPSDM), Muamalat Institute, Karim Consulting, dan Divisi Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia (IBI). Sudah cukup banyak kiprah yang dilakukan oleh lembaga lembaga pelatihan tersebut.

Pada tataran akademisi kita mencatat kepeloporan fakultas ekonomi UII Yogya, SBI institute, SEBI, STIS Yogya, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta, Universitas Djuanda Bogor, IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, IAIN Medan, AKP Padang, dan Fakultas Ekonomi UNAIR, STEI Tazkia, dan Jurusan Timur Tengah dan Islam UI serta upaya lain dari beberapa universitas Islam yang cukup banyak.

Di antara lembaga-lembaga tersebut ada tiga lembaga yang melakukan terobosan cukup unik. Pertama, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta. Kedua, Jurusan Timur Tengah dan Islam UI telah mendobrak salah satu institusi pendidikan tertua nasional dengan membuka program pasca sarjana dengan salah satu pilihan konsentrasi tentang ekonomi Islam. Ketiga, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia.

Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri untuk pengembangan ekonomi Islam, Tazkia belajar dari keterbatasan-keterbatasan pendahulunya. Tazkia mengambil 120 persen kurikulum ekonomi dan muamalah, mewajibkan program matrikulasi, dan mengajarkan beberapa mata kuliah dalam bahasa Arab dan Inggris, serta menjalin kerjasama pengembangan kurikulum dengan Universitas Al-Azhar, Mesir dan International Islamic University, Malaysia.

Adalah kesulitan yang luar biasa besarnya bila memaksakan beberapa mata kuliah muamalah di fakultas ekonomi atau menginsersi beberapa mata kuliah bisnis di fakultas syariah. Yang paling ideal memang mengambil seluruh mata kuliah wajib kurikulum nasional ekonomi (60 persen) dan mengambil seluruh kewajiban kurikulum nasional Muamalah (60 persen).

Kesulitan 120 persen dapat diatasi dengan adanya matrikulasi dimana semua mahasiswa di asramakan selama 2 semester. Selama masa boarding, siswa difokuskan untuk mendalami Arabic for economist, English for academic purpose, quantum learning, tahfidz al-qur'an (ayat ayat ekonomi), applied mathematics & statistic for economics dan dirasah Islamiyah.

Kita berharap upaya-upaya lembaga pendidikan dan training tersebut di atas dapat berjalan dengan lancar karena memang SDM ekonomi syariah sudah sangat mendesak dan kita juga sudah sangat banyak ketinggalan dari peneliti asing yang melihat ekonomi dan keuangan Islam sebagai suatu kajian yang menantang. Di sisi lain beberapa IAIN dan universitas Islam kita masih bergelut mencari calon dosen dan rujukan yang pas untuk mahasiswa yang berminat tentang ekonomi syariah.

Oleh: Muhammad Syafii Antonio

0 Responses